Cerita Seks: Entotin Memek Merah Tante Ani

Baju, celana dan jaket Tante kutumpuk dengan milikku. Bel pintu terdengar lagi. Petugas laundry mengambil tumpukan pakaian di keranjang. Tante Ani keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menutupi dada hingga separuh pahanya. Pria manapun pasti akan menatap pemandangan seperti itu. Tante sepertinya tidak ambil pusing dengan hal itu. Ia menuju kaca besar di depan ranjang. Tersadar bahwa kemungkinan besar Tante memergoki tatapanku maka aku berkata,”pesanan sudah di meja Tante. Baju dan teman-temannya udah dibawa laundry. Ganti aku yang mandi ya..” Tante melirikku dari kaca,”iya Mas..” Kunyalakan shower dan kuatur panas dan dinginnya air. Sambil mandi aku berpikir,”gilaa..kayak nggak ada orang aja di kamar. Atau karena keadaan aja ya..Hmm..tubuh Tante memang masih bagus untuk yang seumuran. Nggak nyangka..Dada dan pantatnya sungguh menggoda..” Senjataku dengan segera bangun. Aku berpikir apakah kuteruskan dengan onani atau tidak. Akhirnya hasrat itu kutuntaskan, tentu dengan membayangkan Tante Ani. Kemudian aku keluar kamar mandi dengan hati yang tambah dag dig dug.
Tante sedang melihat film dari sebuah channel luar. “Makan yuk Mas..laper aku..”, ketika melihatku sudah selesai mandi. “Iya..aku juga laper. Mungkin karena kehujanan terus tadi.” Tante menarik sebuah kertas tanda lunas pesanan kami dari nampan. “Lho..kok udah dibayar..jadi ngrepotin kamu Mas..” “Nggak Tante..kebetulan ada kok..”, jawabku. Tante lalu duduk di kursi depanku. Jarak kami hanya dibatasi meja kecil. “Ayo makan Mas..” Sengaja aku minum seteguk jeruk hangatku dulu untuk membasahi tenggorokan yang mendadak langsung kering. Bagaimana tidak. Sebentuk wanita idaman pria ada di depanku. Hanya berbalut handuk lebar. Kutahu Tante tidak memakai bh dan celana dalam karena semua itu tergantung di kamar mandi. Memang ada benarnya sebab keseluruhan baju kami basah luar dalam. Akhirnya aku juga membuka celana dalamku tadi sebelum mandi. Sesekali Tante menunduk mengambil gelasnya. Belahan dadanya sedikit terlihat. Paha yang berambut tipis dan makin kelihatan karena duduk, membuatku sekuat mungkin menekan keinginan senjataku yang ingin bangun. Pasti terlihat oleh Tante kalau itu terjadi.
Sekitar sepuluh menit kami makan tanpa ada pembicaraan, masing-masing merasa kikuk karena situasi. Mungkin agar suasana segera cair Tante berkata,”Tante lihat kamu jarang bawa teman cewek ke rumah Mas..kenalin ke Tante juga dong..hehehe..” Aku berusaha menatap matanya, tidak ke yang lain,”emang belum ada yg pas untuk jadi pacarku kok Tante..teman biasa semua..hehehe..” “Ah masa sih..yang kapan hari aku ketemu di rumah Ma situ bukannya pacarmu?” “Oo si Nia..nggak. Dianya aja yang pengen..hahaha.” “Sok ye ah kamu Mas..hahaha. Jangan kelamaan sendirian..nggak bisa mesra-mesraan nanti..hihihi.” “Kalo ada cewek yang kayak Tante pasti langsung kujadiin pacar..hehehe..ehm..ehm..”, saat kuucap itu tenggorokan menjadi gatal seketika. Kulirik sekejap mata Tante dan kebetulan ia juga menatapku. Tanpa meminta persetujuanku Tante mengambil jeruk hangatku dan meminumnya sedikit,”minta dikit ya Mas..” “Gak apa-apa Tante..ambil aja.” “Kenyang aku Mas..nggak habis. Aku mau tidur dulu ya..capek,” kata Tante sambil meletakkan piring di meja lalu ke kamar mandi. Pintunya hanya ditutup tiga perempat. “Hmm..Tante marah ya..aku harus minta maaf nanti,” pikirku. Kuselesaikan makanku yang sudah tidak berselera. Tak lama Tante keluar dari kamar mandi. Sekarang aku yang masuk. Saat keluar kulihat Tante di depan cermin sedang mengoleskan krim wajah juga menyemprotkan sedikit parfum di dada. “Mungkin kebiasaan Tante sebelum tidur semprot sedikit parfum kali ya..” Kemudian Tante naik ke ranjang, sebelum masuk ke selimut handuknya dilepas. “Met tidur ya Mas..”, ucapnya. “Iya Tante..met tidur juga..” Terbayang dibenak bahwa di balik selimut ada sesosok wanita dewasa yang nyaris sempurna tanpa terbalut busana. Kugeleng-gelengkan kepalaku sambil senyum-senyum sendiri. Kemudian kugelar secarik kain putih di bawah ranjang lalu kulepas handukku dan selimut kututupkan di tubuhku.

Mataku masih belum terpejam. Rasanya seperti mimpi hari ini. Televisi kumatikan dan kupaksa untuk tidur. Selang lima menit kemudian Tante berkata,”Mas..udah tidur?kamu tidur mana?” Terdengar gemerisik di atas ranjang. Aku tak berani bergerak. Dari kaca samping kamar yang kubuka sedikit kulihat Tante bangun dengan menutupkan selimut di dadanya mencari diriku. “Lhoo..kok tidur bawah sih Mas..malah masuk angin ntar. Bisa dimarah Ibumu nanti aku. Ayo sini naik..ayoo..”, Tante menggoyang-goyang bahuku. “Emm..nggak apa-apa Tante..nggak mungkin juga satu ranjang Tante..”, kataku sambil berbalik ke arahnya. “Udah nggak apa-apa. Ini rahasia kita..nggak ada yang tahu kan. Gulingnya aku taruh di tengah buat batas. Ayoo sini naik..kalo nggak aku juga tidur bawah ini..”, Tante duduk dan akan ke karpet. “Ehh..iya..iya Tante..”, jawabku sambil bangun dan menutup tubuh bawahku dengan selimut. Tante tersenyum lalu kembali berbaring menghadap kaca samping. Aku naik ke ranjang dengan berbagai pikiran. Tubuhku terasa hangat mengingat bakal seranjang dengan seorang wanita telanjang walau dibatasi sebuah guling. Kulepas selimutku lalu naik. Aku tempatkan tubuhku dengan hati-hati agar sedikit mungkin bersentuhan dengan tubuh Tante. Aku berbaring menghadap ke kiri. Dua anak manusia telanjang sama dewasa dalam satu ranjang. “Makasih ya Tante diijinin naik. Aku nggak bakal cerita ke siapa-siapa..hehehe”, kataku memecah kesunyian. “Iya Mas..aku yang makasih udah dianter terus juga jalan-jalan.” “Emm..maafin ya Tante omonganku tadi..” “Yang mana Mas..” “Yang tentang kalo ada cewek kayak Tante tadi..” “Oo itu..nggak apa-apa Mas..” Tak ada percakapan lagi. Mungkin Tante sudah tertidur. Kupejamkan mata juga dengan seribu pikiran yang masih berjalan.


Ternyata capek juga tidur dengan posisi yang sama. Aku bermaksud berbalik ke kanan saat kurasakan tidak ada guling yang membatasi kami. Otomatis mataku terbuka setengah. Tante masih berbaring ke kanan. Sinar lampu di kiri dan kanan ranjang cukup mampu menerangi. Punggungnya terlihat putih mulus. Kiranya guling itu dipeluk Tante. Pikiran nakalku melintas cepat. Kubuka sedikit selimut kami. Sedikit nampak dua pantatnya yang sedari tadi mengganggu benakku. Masih cukup padat. Aku tak berani bertindak lebih jauh. Kalau Tante tidak melaporkan ke orang tuaku itu hal yang bagus. Tetapi jika sebaliknya aku bakal mendapat musibah. Kembali kupaksa memejamkan mata. Entah sudah berapa lama ketika kurasakan ada gesekan dengan sesuatu. Aku rasakan dengan mata tertutup,”kalo guling kayaknya bukan. Yang ini nggak ada suara. Apa…” Aku buka mata pelan-pelan. Tante menghadapku tanpa memeluk guling. Lutut kanannya menempel dengan lutut kiriku. Tangan kanannya hampir menyentuh dadaku. Wajahnya begitu damai dan cantik, hanya berjarak sejengkal denganku. Ingin sekali rasanya kusentuh rambut dan pipinya. Temperatur tubuhku perlahan meningkat. Ketika akan kubuka sedikit selimut kami untuk mengintip seperti apa bentuk dua gunungnya, Tante membuka matanya sedikit sambil tersenyum. “Emm..belum tidur Mas? Makasih ya pujiannya tadi..” “Eee..iya Tante..kirain marah..hehehe. Tante kan memang tetep cantik dan…”, kuputus kata sexy untuk menjaga sekiranya ia marah. “Dan apa Mas..” “Ee..nggak..nggak apa-apa.” “Mo ngomong apaan sih Mas..nggak nggak kalo aku marah..”, matanya terbuka lebih lebar. “Emmm..dan..sexy..”, kutatap matanya.


Dua bola mata Tante terbuka normal. “Makasih Mas..aku tau kamu tulus ngomongnya..”, dengan senyum termanis yang pernah kulihat darinya. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat denganku tetapi masih menjaga rasa. Tangan kanan dan kirinya disatukan menutupi buah dadanya. Betis kanannya bersentuhan dengan betis kiriku. Aku menjawabnya dengan sebuah kekuatan entah dari mana. Mencium lembut keningnya. Kutatap matanya. Tidak ada sinar amarah di sana. Sedetik kemudian kucium pipi kanannya. Tante tersenyum dalam lalu mengelus pipi dan rambutku. Kini aku yang menggeser tubuhku. Kurangkul pundak Tante dan sesekali mengelusnya. Suhu kamar menjadi hangat walau penyejuk ruangan selalu mengeluarkan partikelnya. Kepala Tante di dadaku sekarang. Kaki kanannya menimpa kaki kiriku. Elusanku bergeser ke punggungnya. Aku angkat dagu Tante dan kukecup bibirnya. Biasanya wanita akan menutup matanya jika dicium, tapi Tante Ani tidak. Matanya bersinar cerah. Punggungku dielusnya lalu kepalaku ditundukkan dan membalas mengecupku. Kuelus-elus pipi kanannya. Aku buka bibir bawahnya dan kugigit kecil. Kepalaku didekap erat dan ia membalas menggigit bibir bawahku.


Kali ini kucium bibirnya lalu kulepas. Kucium lagi dan kulepas lagi. Tante juga meresponnya dengan hal yang sama. Kami tertawa bersama. Hidung Tante kusentil lalu kucium lebih dalam bibirnya. Bibir kami tiada jarak, berpindah dari satu sudut ke sudut yang lain. Kini lidah Tante menyusup ke rongga mulutku. Aku pun membalasnya. Kami saling membelitkan lidah. Sesekali lidahku kutekankan di langit-langit mulutnya. Lalu kusedot kuat bibirnya, membuat Tante seperti kehabisan nafas dan ia seakan protes dengan membesarkan bola matanya. Elusan dipunggungku kian intens. Kemudian menyusuri pinggang, paha lalu ke pantatku. Di sana sesekali ia meremasnya. Paha kiriku berpindah menimpa paha kanannya tetapi masih ada jarak. Jemari kiriku menari-nari di pipi; leher; lengan; pinggang; dan berakhir dengan meremas pantatnya. Ciuman kami semakin panas. Payudara kanan Tante kusentuh dan kuremas pelan. “Uhh..emm..”, Tante Ani melenguh lirih. Kumainkan pentilnya. Belahan pantatku dielus Tante. Pentil kanannya kukecup dan kuputar-putar di dalam mulutku. Lenguhan dan desisan Tante mulai terdengar.


Lalu kugigit-gigit kecil sekitar dada kirinya. Kembali aku bermain dengan pentilnya. Jemari Tante bergerak menyentuh bola-bolaku dan mengelus-elusnya. Paha kami mulai tidak bisa diam. Dua payudara Tante kuremas lembut sesekali sedikit keras. Tante membalas dengan menyedot dan menggigit kecil dua pentilku. Aku buka selimut kami dan kulempar ke bawah ranjang. Lalu bibirku berjalan menciumi dada dan perut Tante. Tubuhnya aku telentangkan. Bibirku kini semakin turun dan berhenti di atas kemaluannya. “Kenapa Mas..jelek ya..nggak ada rambutnya?” Aku menggeleng,”nggak mbak..emm..boleh aku panggil mbak?” Tante mengangguk dan tersenyum. “Aku paling suka kalo nggak ada rambutnya malah..lebih kerasa tersentuh kulit”, dengan senyum di bibirku. “Ahh..beneran?” Aku tak menjawabnya. Bibirku kini mengitari sisi-sisi luar kemaluannya dan sesekali aku gigit. Dua paha Tante aku buka sedikit. Aku memulai dengan mencium garis tengahnya. Lalu kujulurkan lidahku dan kugerakkan ke atas dan bawah. “Ahhh..Masss..”, dengan menekuk dua pahanya ke atas. Kepalaku ditekankan ke kemaluannya. Rambutku sudah tidak rapi lagi karena dua tangan Tante meremas-remas dan terkadang menjambaknya.


Kemudian bibir bawah Tante kubuka sedikit. Lidahku berbelok ke kanan dan kiri dinding vagina Tante. Tiba-tiba Tante bangun dan mendorong tubuhku. Ia berbalik menghadap penisku. Rupanya Tante ingin membalas perlakuanku. Penisku yang jelas sudah seratus persen berdiri kini digenggamnya erat. Disentuhkannya di pipi kiri dan kanan. Lalu perlahan dimasukkan ke mulut. “Ahh..mbakkk..”, erangku. Tangan kanannya mengelus bola-bolaku sedang yang kiri mengeluar masukkan penisku. Punggung Tante aku elus-elus. Vagina yang ada di depan mata aku sedot-sedot lagi. “Mass..eemm..sshhh..”, desis Tante sambil mengocok cepat dan mengulum penisku. Dua jari kananku masuk di vaginanya dan kukeluar masukkan. “Ahh..sakit mbak..”, ketika sesekali penisku diremas Tante. “Biarin..habis kamu udah bikin aku kepengen Mas..” Klitoris Tante menjadi sasaranku sekarang. Aku tekan dan menggosoknya. “Ouh Mass…eemm..”, sambil pahanya berulang kali dibuka tutup. Aku tambahi seranganku dengan meremas-remas pantatnya. Sedang Tante membalasnya dengan memutari bagian bawah kepala penisku yang lebih sensitif juga memainkan lidahnya di lubang kencingku. “Ahh...mbbaakkk..” Dua jariku keluar masuk lebih cepat di vagina Tante. Tante mengatupkan dua pahanya,”aaahhh..Maasss..sayyaaannggg..” Dua jariku yang masih di dalam vaginanya terasa lebih hangat. Terendam dalam air kepuasan.


Tante menjatuhkan tubuhnya di atasku, menghadap penisku. Jantungnya aku rasakan di bawah perutku masih berdebar. “Makasih ya Mas sayang..kamu udah ngasih aku sesuatu yang udah lama nggak kurasa..”, sambil masih mengocok penisku pelan-pelan. “Aku juga makasih mbak sayang..selama ini cuma memandang sekarang bisa menyentuhmu..”, dan kuelus-elus paha dan pantatnya. Tak berapa lama aku beringsut dari tubuh Tante. Aku tarik dua tangan Tante yang menatapku bertanya-tanya. Kemudian kuhadapkan tubuh Tante di depan cermin. Aku sibakkan rambutnya ke kiri lalu kukecup pundak kanannya. Tante tersenyum menatapku dari cermin. Tangan kanannya mengelus-elus kepalaku. Dua tangan aku silangkan di payudaranya, memeluknya erat. Lalu pelan-pelan kuremas. Tangan kanannya seakan mencari bibirku. Dari samping kanan kami berciuman. Kini tangan kiriku menempatkan penisku di dua pahanya. Tante Ani mengerti maksudku. Ia membuka dua pahanya. Penisku menggesek-gesek bibir vaginanya. “Mass saayyyaannggg..uuhhh...” Aku belum mau memasuki dirinya, sengaja menggodanya. “Masukin sayyaannggg..kamu jahat yaaa..” Tak sabar dipegangnya penisku dengan tangan kiri lalu perlahan dimasukkan ke vaginanya.
http://liang-senggama.blogspot.com

“Ahh..sayaanngggkuuu..”,erang Tante. “Ahh..mbaakk saayyaannggg..”, hampir bersamaan kami mengerang. Jepitan vaginanya masih terasa kuat. “Aduuuhhh mbaakkk..”, aku sedikit menggigil saat kurasa ternyata vagina Tante bisa menyedot penisku. Tante tersenyum gembira memandangku. Kukecup leher dan punggungnya. Penisku aku keluar masukkan dengan kecepatan sedang dan beberapa kali kugetarkan. “Emmm..Masss..enakkk..” Dari belakang kumainkan dua pentilnya. Impianku menyetubuhi wanita di depan cermin akhirnya kesampaian. Pantat Tante sedikit menungging. Aku elus-elus bibir vaginanya. Tante mengimbangi dengan menyodokkan pantatnya ke belakang. Suara benturan pantatnya dan perutku kian kencang. Kami sama-sama terengah-engah. Semua yang ada di bagian depan dan belakang tubuh Tante Ani aku susuri. Sedang pipi; rambut; dan pantatku dielus-elus Tante. Aku lepas penisku dan kudorong pelan tubuhnya kembali ke ranjang.


Aku berbaring di sisi kiri dan Tante di kananku. Kami bersetubuh dengan gaya berhadapan. Penis aku masukkan kembali. Kecepatan penis menyodoknya aku tambah. Kudekap erat tubuhnya, tubuh kami terguncang. Tante menciumiku dengan lebih ganas. Lidahnya membelit lidahku. Lalu menciumu pipi; hidung; leher dan dadaku. Jemari kananku bermain di belahan pantatnya. Sesekali jari telunjukku menyentuh dan masuk ke anusnya. “Ooohhh Masss..gellliiii..”, desah Tante. Paha kirinya mendekap paha kananku erat. Aku mainkan penisku dengan dua kali sodokan pelan lalu menyodoknya dalam. Vagina Tante mengempot penisku berulang kali. Keringat kami terlihat berkilat tertimpa cahaya lampu redup. Tante menatapku manja. Kukecup dua matanya. Tubuhku semakin dipeluknya. Pantatku diremas-remas dan didorongnya agar penisku masuk lebih dalam. “Uuuffff..mentok sayyyaaanngg...eehhhnngg..”, Tante mengerang manja. “Ohh..ohh..iya mbakk..enak sekali vaginamuuu..”, sahutku. Terasa makin hangat dan menjepit erat penisku. “Maasss..ooohhhh..ssaaayyaaannggg..”, digigitnya dada kananku. Desiran hangat menyelimuti penisku. Aku mengejarnya dengan makin menyodoknya. “Oohhh mbbaakkuu ssaayyyaannggg..” Berulang kali kusemprotkan spermaku diiringi empotan vaginanya. Kami saling mendekap erat. Dada kami masih naik turun. Kucium dalam bibir Tante Ani. “Makasih mbak..aku makin sayang kamu..” Tante mencium dua mataku,”aku yang makasih Mas sayang..aku juga tambah sayang sama kamu..”


Rambut Tante Ani aku elus-elus. Kepalanya menempel di dadaku. Kupandang langit-langit kamar hotel sambil tersenyum. Rasanya masih seperti mimpi..
Warung Online